الأحد، 17 فبراير 2013


GURU PASTI MAMPU MENULIS
Author: Ihsan Chandra

Pengaturan kenaikan pangkat guru telah mengalami perubahan. Di awal tahun 2013 ini akan mulai diberlakukan secara efektif aturan kenaikan pangkat guru menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru) yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2010.
Dalam penilaian kinerja guru, keprofesionalan guru menjadi tolak ukur, yakni dengan adanya angka kredit yang diwajibkan bagi guru mulai dari guru pertama hingga guru utama. Melalui regulasi ini, guru diwajibkan memiliki kredit point naik ke jenjang pangkat berikutnya. Perolehan angka kredit bagi guru selain melalui penilaian kinerja guru (PKG) juga melalui kegiatan PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan). Kegiatan PKB ini dilaporkan secara tertulis, yang berupa karya tulis ilmiah (KTI).
Banyak yang beranggapan, bahwa yang dilakukan pemerintah adalah terobosan baru yang tepat, ada pula yang beranggapan bahwa aturan baru kenaikan pangkat guru akan “mencekik” guru terlebih jika guru harus menulis. Bahkan tidak sedikit yang pesimis, berasumsi bahwa guru “belum atau tidak” mampu menulis.
Terlepas dari apapun yang menjadi alasan munculnya anggapan tersebut, yang pasti memang banyak bukti untuk menerangkan rendahnya budaya menulis di kalangan guru. Mengamati buku-buku di perpustakaan atau di took-toko buku, memang masih jarang buku yang ditulis oleh guru, atau ketika membaca surat kabar, juga belum banyak artikel yang ditulis guru.
Benarkah guru tidak mampu menulis? Jawabannya pasti beragam. Namun demikian, penulis optimis bahwa guru pasti mampu menulis. Jika dilihat dari perspektif guru sebagai subjek, maka sebagai praktisi pendidikan guru memiliki potensi yang sangat besar. Guru memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang system dan model pembelajaran di kelas yang dapat disajikan dalam tulisan, guru juga bisa menuliskan tentang duka cita menjadi guru, atau bisa juga menulis tentang indahnya menjadi guru. Dapat pula memaparkan tentang cara atau strategi dalam menghadapi keragaman psikologi peserta didik.
Dipihak lain, guru sebagai objek. Tidak sedikit orang selama ini menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, atau sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan, kritik dan keprihatinan terhadap guru dilemparkan banyak kalangan dalam tulisan. Padahal, jika semua ini ditulis oleh guru, maka dapat menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang, lebih khusus bagi guru itu sendiri.
Banyak hikmah dan keuntungan yang akan diperoleh jika guru mau menulis. Dengan menulis, akan dapat memberikan motivasi tinggi bagi guru. Ketika sebuah tulisan dipublikasikan di media, tentu akan menimbulkan rasa senang serta sedikit kebanggaan, sehingga terdorong untuk menulis lagi. Kegiatan menulis juga dapat membuat guru menjadi pembelajar, karena untuk bisa menulis guru harus membaca.
Mungkin juga, melalui tulisan yang dipublikasikan bisa memberikan keuntungan popularitas. Dikenal banyak orang karena hal yang positif. Mungkin saja tidak sedikit orang tertarik dengan apa yang disajikan dalam tulisan sehingga membuat pembaca akan teringat selalu dengan penulisnya.
Hikmah lain yang dapat dipetik kalau guru mau menulis adalah bahwa bisa saja melalui kegiatan menulis akan memberikan tambahan pendapatan bagi guru. Bayangkan saja jika tulisan sekelompok guru yang dikoleksi sehingga menjadi sebuah buku, kemudian memiliki daya tarik yang tinggi bagi pembaca diterbitkan oleh penerbit yang bonafit pula dipajang ditoko-toko buku. Bukan tidak mungkin tulisan tersebut kemudian menjadi best seller. Bukankan guru-guru tersebut akan mendapatkan penghargaan financial dari penerbit.
Tidak ada kata terlambat bagi guru untuk mulai mengembangkan kreativitas menulis. Banyak bahan untuk dijadikan topic tulisan. Banyak pula tulisan yang dapat disajikan sebagai ekspresi dari apa yang dibaca dan dialami selama menjadi guru. Semua guru pasti bisa menulis, apakah itu artikel maupun karya tulis ilmiah. Untuk sebuah kegemaran, kebanggaan, popularitas atau keuntungan serta sebuah syarat kenaikan pangkat.
Jangan sampai ketidakmauan yang mengarah pada ketidakmampuan melahirkan sebuah kebohongan baru dalam diri guru hanya karena ingin cepat naik pangkat. Boleh-boleh saja menggunakan sebagaian tunjangan profesi untuk membayar biaya pelatihan menulis, tapi tentu tidak untuk membeli sebuah karya tulis dari orang lain. Akhirnya, semoga tulisan ini dapat membangkitkan semangat guru untuk mulai menulis. Yakinlah bahwa “guru pasti mampu menulis”.

( Penulis adalah “guru” SMA Negeri 1 Paloh Kab. Sambas & Penulis Laker’s Fisika SMA/MA yang diterbitkan CV. Yrama Widya Bandung untuk SMA/MA Kab. Sambas)