GURU PASTI MAMPU MENULIS
Author:
Ihsan Chandra
Pengaturan
kenaikan pangkat guru telah mengalami perubahan. Di awal tahun 2013 ini akan
mulai diberlakukan secara efektif aturan kenaikan pangkat guru menggunakan PKG
(Penilaian Kinerja Guru) yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 25 Tahun 2010.
Dalam
penilaian kinerja guru, keprofesionalan guru menjadi tolak ukur, yakni dengan
adanya angka kredit yang diwajibkan bagi guru mulai dari guru pertama hingga
guru utama. Melalui regulasi ini, guru diwajibkan memiliki kredit point naik ke
jenjang pangkat berikutnya. Perolehan angka kredit bagi guru selain melalui
penilaian kinerja guru (PKG) juga melalui kegiatan PKB (Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan). Kegiatan PKB ini dilaporkan secara tertulis, yang
berupa karya tulis ilmiah (KTI).
Banyak
yang beranggapan, bahwa yang dilakukan pemerintah adalah terobosan baru yang
tepat, ada pula yang beranggapan bahwa aturan baru kenaikan pangkat guru akan
“mencekik” guru terlebih jika guru harus menulis. Bahkan tidak sedikit yang
pesimis, berasumsi bahwa guru “belum atau tidak” mampu menulis.
Terlepas
dari apapun yang menjadi alasan munculnya anggapan tersebut, yang pasti memang
banyak bukti untuk menerangkan rendahnya budaya menulis di kalangan guru.
Mengamati buku-buku di perpustakaan atau di took-toko buku, memang masih jarang
buku yang ditulis oleh guru, atau ketika membaca surat kabar, juga belum banyak
artikel yang ditulis guru.
Benarkah guru tidak
mampu menulis? Jawabannya pasti beragam. Namun
demikian, penulis optimis bahwa guru pasti mampu menulis. Jika dilihat dari
perspektif guru sebagai subjek, maka sebagai praktisi pendidikan guru memiliki
potensi yang sangat besar. Guru memiliki segudang bahan berupa pengalaman
pribadi tentang system dan model pembelajaran di kelas yang dapat disajikan
dalam tulisan, guru juga bisa menuliskan tentang duka cita menjadi guru, atau
bisa juga menulis tentang indahnya menjadi guru. Dapat pula memaparkan tentang
cara atau strategi dalam menghadapi keragaman psikologi peserta didik.
Dipihak
lain, guru sebagai objek. Tidak sedikit orang selama ini menjadikan guru
sebagai bahan perbincangan, atau sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan,
kritik dan keprihatinan terhadap guru dilemparkan banyak kalangan dalam
tulisan. Padahal, jika semua ini ditulis oleh guru, maka dapat menjadi sebuah
proses pembelajaran bagi semua orang, lebih khusus bagi guru itu sendiri.
Banyak
hikmah dan keuntungan yang akan diperoleh jika guru mau menulis. Dengan
menulis, akan dapat memberikan motivasi tinggi bagi guru. Ketika sebuah tulisan
dipublikasikan di media, tentu akan menimbulkan rasa senang serta sedikit
kebanggaan, sehingga terdorong untuk menulis lagi. Kegiatan menulis juga dapat
membuat guru menjadi pembelajar, karena untuk bisa menulis guru harus membaca.
Mungkin
juga, melalui tulisan yang dipublikasikan bisa memberikan keuntungan
popularitas. Dikenal banyak orang karena hal yang positif. Mungkin saja tidak
sedikit orang tertarik dengan apa yang disajikan dalam tulisan sehingga membuat
pembaca akan teringat selalu dengan penulisnya.
Hikmah
lain yang dapat dipetik kalau guru mau menulis adalah bahwa bisa saja melalui
kegiatan menulis akan memberikan tambahan pendapatan bagi guru. Bayangkan saja
jika tulisan sekelompok guru yang dikoleksi sehingga menjadi sebuah buku,
kemudian memiliki daya tarik yang tinggi bagi pembaca diterbitkan oleh penerbit
yang bonafit pula dipajang ditoko-toko buku. Bukan tidak mungkin tulisan
tersebut kemudian menjadi best seller. Bukankan guru-guru tersebut akan
mendapatkan penghargaan financial dari penerbit.
Tidak
ada kata terlambat bagi guru untuk mulai mengembangkan kreativitas menulis.
Banyak bahan untuk dijadikan topic tulisan. Banyak pula tulisan yang dapat
disajikan sebagai ekspresi dari apa yang dibaca dan dialami selama menjadi
guru. Semua guru pasti bisa menulis, apakah itu artikel maupun karya tulis
ilmiah. Untuk sebuah kegemaran, kebanggaan, popularitas atau keuntungan serta
sebuah syarat kenaikan pangkat.
Jangan
sampai ketidakmauan yang mengarah pada ketidakmampuan melahirkan sebuah
kebohongan baru dalam diri guru hanya karena ingin cepat naik pangkat.
Boleh-boleh saja menggunakan sebagaian tunjangan profesi untuk membayar biaya
pelatihan menulis, tapi tentu tidak untuk membeli sebuah karya tulis dari orang
lain. Akhirnya, semoga tulisan ini dapat membangkitkan semangat guru untuk
mulai menulis. Yakinlah bahwa “guru pasti mampu menulis”.
(
Penulis adalah “guru” SMA Negeri 1 Paloh Kab. Sambas & Penulis Laker’s
Fisika SMA/MA yang diterbitkan CV. Yrama Widya Bandung untuk SMA/MA Kab.
Sambas)